UNIVERSITAS HARVARD


Harvard Business School (HBS) kini hampir mencapai usia satu abad. Masih menjadi sekolah bisnis paling sukses dan memiliki pengaruh di seluruh penjuru dunia. Setidaknya hal itu terus dipertahankan melalui konsistensi sekolah tersebut dalam menjaga mutunya, penciptaan komunitas yang kuat dari jaringan alumninya, serta jaminan mutu yang selalu melekat pada nama, merek, dan apapun yang terkait dengan Harvard Business School.

Sudah begitu, nilai sumbangan (endowment) yang diterima HBS paling besar dibanding sekolah bisnis lainnya, yang mencapai angka US$ 1,3 milyar. Belum puas dengan dana yang ada, beberapa tahun lalu, HBS menggalang dana melalui kampanye penghimpunan dana sebesar US$ 500 juta hingga akhir 2005 untuk mendukung program beasiswa kampus, riset global, serta pengembangan fakultas dan teknologi.

Dana yang berhasil dihimpun juga digunakan untuk merenovasi gedung perpustakaan Baker Library yang bersejarah serta asrama mahasiswa. Kampanye itu dipimpin oleh C Dickspangler, mantan mahasiswa MBA angkatan 1956. Acara peluncurannya sendiri (21 September 2003) dihadiri ratusan alumni termasuk presiden Harvard University, Lawrence H Summers, yang juga mantan menteri keuangan Amerika semasa Clinton. Pada kesempatan itu, Kim B Clark, dekan HBS, berujar bahwa apa yang dilakukan HBS pada 20 tahun mendatang bakal lebih berarti daripada apa yang telah dilakukan dalam 20 tahun terakhir.

Sejarah Harvard sendiri dimulai pada tahun 1907 ketika A Lawrence Lowell, profesor yang menjabat sebagai presiden HBS kembali melontarkan gagasan pendidikan professional pasca sarjana untuk bisnis. Sejak berdiri tahun 1636, Harvard sudah dikenal memiliki Harvard Law School dan Harvard Medical School yang prestisius. Dengan adanya fakultas baru itu, gelar master dalam bisnis akan diberikan pada mereka yang sebelumnya telah menyandang gelar bachelor of art atau bachelor of science. Tujuannya, untuk melatih dan mendidik para pemimpin, serta mencetak para spesialis. Namun, sekolah tersebut tak berkonsentrasi pada pemasaran atau keuangan, melainkan manajemen umum. HBS diciptakan menjadi sekolah bagi para GM. Pada tanggal 21 September 1908, dengan 15 staf pengajar dan 24 mahasiswa full time, dibukalah Graduate School of Business Administration yang merupakan cikal bakal HBS.

Pada tahun 1925, berkat hibah sebesar US$ 5 juta dari bankir George F Baker, dekan Wallace B Donham berinisiatif membangun kampus dengan arsitektur neogothic di lahan bekas rawa Boston. Letaknya persis di belakang Charles River dari Cambridge dan kampus utama Harvard. Kini, kampus HBS itu terdiri 29 bangunan diatas 60 ha berupa perpustakaan, ruang makan besar, fasilitas olahraga, asrama, serta tempat ibadah yang jauh lebih besar dari kampus lain. Donham juga mengambil inisiatif pengajaran studi kasus Harvard yang terkenal itu. Donham juga mengadopsi ide dari pendidikan di fakultas hukum. Lalu pada 1922 Donham mulai menerbitkan jurnal ilmiah HBR yg dikemudian hari menjadi “kitab suci” bagi manajemen kontemporer.

Meski begitu, sampai tahun 1950, gelar MBA belum menjadi gelar yang bergengsi. Pada tahun 1949 misalnya, dari 3.900 MBA lulusan 100 universitas di AS, hampir 700 merupakan lulusan Harvard. Tapi begitu perusahaan seperti Xerox, Johnson & Johnson, Capital Cities, dan Bloomingdale mengalami booming pasca perang, lulusan MBA asal Harvard melambung nilainya.

Menurut Kim B Clark, separo dari 60.000 lebih lulusan Harvard yang tinggal diluar AS merupakan lulusan HBS. Kantor alumni HBS memonitor terus sekitar 66 ribu lulusannya yang masih hidup. Data yang dihimpun antara lain, perjalanan karir, pendapatn, keluarga, sumbangan sosial, dan kewarganegaraan alumni. Hasilnya, lulusan HBS memperoleh pengahasilan awal lebih dari US$ 145 ribu per tahun. Angka itu jauh lebih besar daripada penghasilan alumni sekolah bisnis manapun.

Lulusan HBS tidak sedikit menjadi CEO perusahaan raksasa dunia. Louis V Gestner, Jr merupakan chairman dan CEO IBM, Raymond Gilmartin menjadi CEO Merck, Arthur Martinez menjabat CEO Sears, Steve Kaufman menjadi CEO Arrow Electronics, dan masih banyak lagi. Kini, terjadi kecenderungan baru dimana sekitar 40-50% lulusan HBS ternyata memutuskan untuk menjadi wirausahawan dengan memulai bisnis sendiri atau mengelola perusahaan pemula.

Bicara tentang seleksi masuk, tak kurang dari 50 ribu lamaran masuk ke HBS setiap tahunnya. Sekitar 7.500 mahasiswa kemudian mengikuti tes untuk merebut 880 kursi tersedia (1997). Fakultas pada dasarnya hanya menerima 1.000 mahasiswa dan hampir 90% datang memenuhi panggilan. Sisanya memilih untuk bekerja karena tawaran yang lebih baik. HBS juga menyiapkan dana hingga US$ 100 juta untuk fellowship di tengah meningkatnya kebutuhan bantuan finansial bagi mahasiswa. Dana-dana tersebut akan membuat HBS tetap dikunjungi mahasiswa-mahasiswa berbakat dari seluruh penjuru dunia. Tak kurang dari 70 negara terwakili dari program MBA yang diselenggarakannya. Dana yang kurang lebih setara juga akan dimanfaatkan untuk pengembangan fakultas, termasuk pembangunan teaching & learning center. Tak mengherankan bila pengajar seperti Michael Porter, John Kotter, Rosabeth Mos Kanter, dan Robert Kaplan tetap betah mengajar di HBS. Semangat menjadi terdepan dari saingan terdekat, Stanford di California, Wharton School di Philadelphia, Kellog School dari Northwestern University di Chicago Illinois, terasa benar di HBS. Tak jarang profesor Harvard melewatkan malam di kantor/asrama saat badai salju. Tidak pernah ada istilah membolos di Harvard.

Sebagai pembanding, 1997 dari 85 ribu MBA lulusan seribu sekolah bisnis Amerika, Harvard menyumbang 882 MBA. Sekalipun secara persentase hanya sebesar 1%, ternyata angka tersebut merupakan jumlah lulusan dari satu angkatan yang terbesar dari satu sekolah bisnis. Produk-produk HBS juga makin berkembang, mulai dari HBR, penerbitan buku via HBS Publishing, cetak ulang studi kasus, piranti lunak, kursus multimedia interaktif, video, newsletter, bahan-bahan rilis online bagi para sarjana, serta website di internet yang telah meningkatkan pendapatan HBS secara signifikan. Upaya itu sekaligus memudahkan akses secara instan ke HBS dari segala penjuru dunia. Tampaknya HBS memang berkeinginan untuk tetap hidup selama setidaknya seribu tahun lagi.

Bicara tentang jaringan alumni, HBS dan Harvard pada umumnya, sangat pandai menyusun jaringan alumninya. Komitmen mereka pada alumni dibuktikan pada kesungguhan dan besarnya anggaran untuk menanganai dan membiayai alumni relations office. Di Indonesia, kebanyakan universitas termasuk universitas ternama sekalipun masih menyerahakan kegiatan alumni hampir sepenuhnya pada para alumninya. Selain tidak optimal dalam menggarap kekuatan, hal ini juga kerap berubah menjadi ajang politik. Mungkin para pengasuh universitas disini belum menyadari bahwa it takes money to make money.

Oh iya, Indonesia kini punya beberapa produk lulusan HBS. Beberapa diantaranya, yang saya tahu, antara lain Angky Camaro (HM Sampoerna), Ongky Sunarno (Humpuss), Philip Purnama (Indofood), Hasan M Soedjono (Sempati Air), dan masih ada beberapa lagi. Meski jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari, tapi mudah-mudahan kontribusi mereka bagi negara ini bisa jauh lebih besar dari lulusan sekolah bisnis lainnya.

Mungkin Anda tertarik masuk ke Harvard? Selentingan ringan dari mereka-mereka yang berada di Amerika sering mengutarakan bahwa Harvard tak beda dengan universitas aristokrat lainnya. Jangan pernah berharap bisa lolos ke Harvard kalau Anda/orang tua Anda bukan donatur Harvard, atau Anda tidak memiliki rekomendasi dari alumni Harvard, dan Anda bukan anak seorang pejabat.

9 comments

  1. ga setuju nih sama pernyataan terakhir, siapa pun bisa masuk univ havard asal ada kemauan, dan bukan hanya anak dari seorang pejabat.

    Suka

  2. This review make me ilfeel, aristokrat, mutu bagus , tp kok…hmmmm
    ada beasiswanya g ya? yang FULL, ga jd donatur, bkn ank pejabat, tapi berprestasi

    Suka

  3. gue pengen banget bisa masuk harvard jurusan kedokteran tapi gtw persyaratnnya apa aja.uda cari2 tapi kagak nemu…
    ada info gak ttg scholarshipnya harvard???
    thx a lot be4..

    Suka

Tinggalkan komentar